Minggu, 24 Maret 2013

Bad Boy Bets








                                       
Seperti biasa Dimas, Jaka, Novan, Verdy dan Agus berkumpul di meja kantin saat istirahat. Seperti biasa pula selalu ada hal baru yang dipertaruhkan. Geng beranggotakan cowok-cowok tampan di sekolah ini memang menganggap taruhan sebagai camilan. Kalau tidak taruhan, tidak asyik!
 “Nah kalo gitu gue punya taruhan baru.” Kata Dimas setelah mengantongi uangnya.
“Apa lagi nih Dim?” Sergah Novan bersemangat.
Mereka berlima saling membungkuk dan mendengar penuturan Dimas dengan penuh perhatian.
“Kalian tahu Dara kan?”
“Oh anak IPA-1 itu?” sahut Verdy.
“Oh si Miss Perfect itu ye?” Kali ini Agus dengan bibir mencibir.
“Iye…si jutek dari Bulan itu kan?” Sahut Jaka. Yang lainnya seraya menatapnya heran.
“Kenapa pada liatin gue?”
“Si jutek dari bulan maksudnya?” Tanya Dimas.
“Do’i kan cantik banget euy…masa belaga ga tau sih lo pada.” Jawab Jaka kesal.
Novan, Agus dan Verdy menutup mulut menahan tawa. Hanya Dimas yang stay cool, tetap focus pada misi yang sudah ia pikirkan satu ini.
“Udah…udah…kalian pada mau dengerin gue ga sih?”
“Oke…oke kita dengerin.”
“Jadi taruhannya adalah…” Dimas diam, Agus, Novan, Verdy dan Jaka menunggu.
“Siapa yang bisa jadian ama Dara dalam waktu satu bulan dan bikin dia klepek-klepek di pelukan, bakal di kerjain LKS Matematikanya ampe tuntas dan yang kalah nraktir bakso seminggu dan musti ngerjain LKS yang menang, setuju?” Dimas mengakhiri kalimatnya dan memandang wajah temannya satu persatu.
Jaka tentu saja mengangguk, begitu juga Novan dan Agus. Hanya Verdy yang terlihat mikir-mikir.
“Elo Ver?”
“Tapi LKS Matematika gue udah gue kerjain ampe penuh.” Jawab Verdy kecewa.
Dimas, Novan. Jaka dan Agus menepuk jidat bersamaan. Mereka lupa kalau Verdy adalah jelmaan Socrates. Alias matematika oriented.
“Mmm…khusus lo seni budaya deh.” Dimas membuat pengecualian.
“Maksud lo?” Tanya Agus.
“Iya tugas seni budaya Verdy, kalo Verdy yang menang kita yang kerjain.”
“Sumpah lo?”
“Suer samber geledek!” Dimas mengacungkan kedua jarinya.
Jadi konferensi ditutup dengan menghirup es teh hingga tetes terakhir dan sendawa keras penuh kepuasan. Semua setuju, misi dilaksanakan mulai hari senin besok.

****************
Ini sudah hari ke enam Dimas mengamati Dara. Kebiasaannya saat istirahat, saat pulang sekolah bahkan saat Dara ke toilet. Jadi Dimas sekarang menunggu Dara di depan sekolah. Dengan ekspresi ‘dewa’nya ia bersandar di gerbang sekolah dengan tangan di saku dan kaki menyilang.
Beberapa siswi melemparkan senyum menggoda pada Dimas. Tapi Dimas bahkan tidak membalas. Ia tetap stay cool as always dan dengan wapada menunggu kalau Dara lewat.
Sesosok tubuh anggun dengan tas ransel warna biru muda di punggungnya melangkah tegas ke arah gerbang. Dengan penuh pesona Dimas mencegatnya.
“Hai kamu Dara kan?” Sapa Dimas dengan senyum yang ramah.
“Iya, kamu sapa?”
Apa? Dia ga kenal gue? Cowok paling tampan di sekolah! 
“Kenalin aku Dimas XI IPA-3.” Dimas menyodorkan tangannya.
“Oya ada apa?” Dara tidak menggubris tangan Dimas sama sekali. Baginya bersalaman dengan lelaki bukan hal penting.
“Mmm…gini aku kan ada ulangan fisika hari sabtu…” Dimas melayangkan tangannya ke kepala dan membuat ekspresi malu-malu. “boleh nggak kalo aku minta ajarin kamu?”
“Bisa.”
“Gimana kalo kita belajar di rumah kamu?” Tawar Dimas dengan semangat yang tidak kentara.
“Bisa juga.”
“Kalo gitu kap…”
“Besok sepulang sekolah, jangan telat ato ga jadi.” Tukas Dara lugas dan segera melangkah keluar gerbang.
“Dara…”
“Apa lagi?”
“Boleh aku anter pulang? Sekalian tau rumah kamu, aku kan belum tau rumah kamu.” Kata Dimas penuh harap.
“Aku dijemput sopir, kamu ngikutin aja dari belakang.” Jawab Dara lalu segera berlalu.
Dimas sedikit kecewa, tapi ia meninju udara. Setidaknya ia bisa langsung masuk rumah Dara!

**********
Siang hari sepulang sekoah. Seperti janjinya, Dimas datang ke rumah Dara.
Rumah Dara bertingkat dua namun sederhana. Ada taman kecil yang tertata rapi di halamannya. Dimas disuruh menunggu di ruang tamu yang sejuk dan sofa yang empuk.
“Siapa Ra?” Terdengar suara perempuan dari dalam.
“Temen Dara Bun. Minta ajarin fisika.”
“Temen sekelas? Kok belum pernah lihat Bunda?”
“Bukan beda kelas, eh Dara ganti baju dulu ya Bun.” Dara pun menghilang di kamarnya.
Dara kembali menemui bundanya dengan pakaian santai, kemeja dan celana panjang training.
“Makan dulu Ra, ajak juga deh temennya!.”
Dara berjalan ke ruang tamu dengan anggun.
“Dim, aku mau makan siang dulu. Kamu makan sekalian ayo!” Ajak Dara sambil menyisir rambut dengan tangannya.
Dimas terdiam, mengagumi rambut lurus Dara yang jatuh kembali dengan lembut ke dahinya. Poninya berombak di pelipis kiri dan kanan, membingkai wajah Dara yang cantik
See, she’s gorgeous!!
“Dim…kamu mau ikut makan nggak?” Dara bertanya dengan suara lebih jelas.
“Oh…eh iya kalau nggak ngerepotin.” Dimas tersipu malu ketahuan menatap Dara seperti itu.
“Oh nggak papa kok sama sekali nggak ngerepotin, ayo sini!” Seru Bunda dari dalam.
Dimas akhirnya ikut makan siang di meja makan, bersama Bunda dan Dara. Dimas melihat Dara bercanda dengan bundanya, dan sesekali mereka bertiga tertawa bersama. Ini baru pertama kalinya Dimas ke rumah Dara, tapi ia sudah terkesan sedemikian rupa.
Setelah itu seperti tujuan semula Dara mengajari Dimas fisika. Dimas terkejut, Dara mengajar dengan jelas dan sabar.
“Yang ini aku bingung….” Tunjuk Dimas pada soal nomor tiga.                           
“ Ah yang itu gampang, tapi agak ribet. Kamu hitung dulu ini trus baru dikali dua.” Terang Dara. Dimas pun menghitung seperti yang dianjurkan Dara.
“ Iya Day, jadi gampang bang…”
“Day…?” Dara melotot.
“Iya maksud aku kalo manggilnya Dar kan aneh, jadi…gue panggil Day aja. Ga papa kan?” Dimas menjelaskan dengan malu-malu.
“It’s oke…” Dara kembali menekuri soal berikutnya.
Dimas hanya menatapnya penuh kekaguman. Dara begitu anggun, tegas, pintar dan mempesona secara bersamaan.
Gimana mungkin gue baru kenal dia sekarang…
Dalam keadaan taruhan…
Dimas merintih tanpa sadar.
“Kamu kenapa…udah bosen?” Dara menatap Dimas.
“Iya…dikit, aku pulang dulu deh ya.” Dimas menampilkan ekspresi meminta maaf.
“Ya udah." Dara membereskan buku-buku di meja.
Dimas pamit pada Bunda dan pulang ke rumah dengan hati galau.

******************
Dua minggu kemudian di meja kantin yang sama.
 “Gimana Bro…ada kemajuan?” Tanya Dimas pada teman-temannya.
“Kalo gue sih kemunduran adanya.” Jawab Verdy lesu.
“Gue juga, si Dara bahkan ga noleh waktu gue sapa.”
“Fiuuhhh…mendingan lo pada, lha dia nampar gue di hari ke dua kita ngobrol.” Curhat Jaka sambil mengusap pipi kirinya. Kontan Dimas, Novan, Verdy dan Agus tertawa.
“Kok bisa, lo apain dia?” Tanya Dimas penasaran.
“Jurus gue yang biasa, peluk pinggangnya trus gue bilang ‘hey Dara manisku’” Yang lainnya kembali tertawa.
“Pantesan aja, Dara lo gituin.” Sahut Novan sambil terus tertawa.
“Ada yang mau denger cerita gue?” Seru Dimas. Yang lain terdiam seketika.
“Gue berhasil main ke rumah Dara…” Keempat temannya ber wow serempak. “bahkan gue akrab ama bundanya, gue juga sering makan siang bareng…” Dengan bangganya Dimas menceritakan keakrabannya dengan Dara.
“Gawat bias-bisa lo lagi yang menang.” Ujar Novan setelah Dimas selesai bercerita.
“Wah…bisa botak gue ngerjain LKS Matematika anak IPA-3.” Sahut Agus yang anak IPS.
“Tenang kan ada Verdy, dia yang bakal bantuin kita.” Seru Novan sambil melirik si jago matematika.
“Eit jangan lupa kewajiban menraktir yang menang.” Kata Dimas.
“Aaaahhh…kalo inget yang itu mules gue.”
“Iya gue juga, mana bokek lagi…”
“No komen…” Dimas berlaga seolah menutup resleting mulutnya.
Siangnya sepulang sekolah Dimas kembali main ke rumah Dara. Dimas selalu senang melihat Dara dengan pakaian kasual. Hari ini celana panjang warna abu-abu dengan banyak kantong dan kaos lengan panjang hijau lumut.
“Bunda mana Ra?” Tanya Dimas sambil melongok ke ruang tengah. Tidak ada siapa-siapa disana. Dara anak tunggal, jadi terasa sekali kalo tidak ada bunda.
“Nganter Ayah ke dokter.” Jawab Dara sambil menaruh toples berisi camilan di meja.
“Ayah lo sakit?” Dimas terkejut. “Kenapa kamu ga pernah cerita?”
“Ha kenapa harus cerita sama kamu?” Canda Dara.
“we’re friends aren’t we?” ujar Dimas terluka. “ kamu kan bisa cerita apa aja ke aku.”
“Kita teman lah, tapi kenapa harus berbagi sesuatu yang menyedihkan sama teman, kalo bahkan gue sedikit bisa berbagi kebahagiaan?” Jawab Dara filosofis, dalam, menohok ulu hati Dimas. Dimas ingat taruhannya dengan teman-temannya. Hatinya sakit sekarang.
Ini bahkan bukan pertemanan yang tulus Ra…
“Kamu, kamu baik banget Ra…” Ucap Dimas sambil tersenyum kikuk.
Gue harus terus terang sama Dara!
“Biasa aja. Anyway kamu juga baik kok.” Ujar Dara tulus.
Gue harus terus terang! Betapa jahatnya gue!!
“Ra…aku mau…” Dimas mencoba bicara.
“Hmm…?” Dara menatap Dimas menunggu.
“Aku…mau…terus terang…” Dimas mulai berkeringat.
“Terus terang soal apa?” Tanya Dara dengan suara tegasnya yang biasa.
“Kalo…kalo sebe…nernya…” Dimas merasa tidak sanggup.
Bilang! Bilang Dim, gentleman dong!!
“Kamu mau bilang sebenernya kamu ndeketin aku karena taruhan?” Nada suara Dara biasa, datar tanpa emosi. Dimas terkejut setengah mati. Tidak menyangka Dara sudah tahu, dan bahkan masih mau berteman dengannya.
“Kamu tahu?”
“Kamu nggak berpikir aku idiot kan, ampe nggak tahu siapa kamu dan gerombolan kamu?” Ujar Dara tiba-tiba sinis.
“Tapi awal kita ketemu?” Dimas bingung.
“Saat itu kamu emang ga kenal kamu siapa, tapi pas kamu bilang nama dan kelasmu. Aku tahu aku berhadapan dengan siapa.” Ekspresi Dara mengeras. Suasana tiba-tiba keruh.
“Sorry Ra, aku tahu ini ga bener. Makanya aku mau terus terang.”
“Nggak usah…buat apa. Toh aku juga nggak berhasil klepek-klepek di pelukan kamu” Dara tersenyum sinis.
“Dara…I’m really sorry.” Ucap Dimas tulus.
Stop!! I’m hurt if you hurt Dara.
“I did. Aku udah maafin kamu dari dulu. Aku pikir kalo kamu ga taruhan, kita mungkin ga akan pernah jadi teman.” Ujar Dara tulus. Wajahnya melembut.
“Gimana kalo akhirnya berbeda?” Suara Dimas tiba-tiba meninggi. “gimana kalo akhirnya aku jatuh cinta…sama kamu?” Dimas terkejut mengatakannya. Dara lebih terkejut seribu kali.
“Tapi aku nggak bisa.” Jawab Dara lirih.
“Kenapa, karena kamu pikir ini taruhan?” Tanya Dimas. Hatinya berdarah sekarang.
“Bukan…”
“Lalu kenapa?” Desak Dimas.
“Aku sakit Dimas…” Dara mulai terisak.
“Sakit?” Dimas tidak mengerti.
“Iya…”
“Sakit apa?” Dimas berdiri mendekati Dara.
“Sakit yang tidak bisa….disembuhkan.” Dara menarik napas.
Sakit yang tidak bisa disembuhkan?
“Aku ODHA Dimas…aku ODHA!!.” Air mata mengucur deras di pipi Dara. Dimas seperti tersambar petir, hatinya begitu sakit sampai sulit bernapas.
“Maaf…maafin aku…aku…” Dimas menyentuh dadanya.
“Kenapa, kamu minta maaf karena kamu ga jadi jatuh cinta sama aku kan?” Dara mundur menjauhi Dimas. “kamu pasti sekarang takut deketin aku?”
“Nggak…Ra, bukan…”
Bukan itu Dara dear…
Hatiku terlalu sakit memikirkan aku bakal kehilangan kamu…
“Aku tahu Dimas…aku tahu yang kamu pikirkan.”
“Kamu nggak tahu!!” Jerit Dimas kesal. Lalu tanpa diduga Dimas memeluk tubuh Dara. Dimas meraih wajah Dara dan menciumnya. Dara terkesiap, tidak menyangka Dimas selancang itu. Mau tidak mau Dara blushing.
“Dimas…maaf…” Dara melepaskan diri.
“Bukan, aku yang maaf, aku ga bisa lihat kamu menangis aku…” Dimas menyesal telah begitu lancang dan kurang ajar.
“Jangan…”
“Apa?”
“Jangan dekati aku lagi…jangan pernah datang kesini lagi!.” Ujar Dara tajam.
“Maafkan aku…”
“Cukup!” Dara menghentikan tangisnya. “Silahkan pulang, kamu belum makan kan.”
“Oke aku pulang, forgive me, I love you.” Dimas menyerah dan berjalan keluar menuju sepeda motornya.
“I love you too, Dimas…” Dara berkata lirih.
Jaka, Novan, Verdy dan Agus terkejut Dimas menghentikan taruhan. Ini luar biasa. Selama ini Dimaslah yang paling antusias saat bertaruh, ia bahkan rela mempertaruhkan apapun.
“Lo kenapa Dim?”
“Lo diomelin bokap lo?”
“Uang saku lo dicabut?”
Tidak ada jawaban, Dimas pergi begitu saja. Baginya semuanya sudah selesai, Dara tidak pernah mau menemuinya lagi. Tidak di gerbang sekolah, kantin, bahkan di rumah.
*************
   Ini sudah akhir bulan, hari dimana seharusnya Dimas mengakhiri taruhannya. Dengan penuh semangat Dimas datang ke rumah Dara sepulang sekolah. Ia sudah bertekad, akan tetap mencintai Dara. Ini Dimas pertama kali jatuh cinta, ia tidak rela cintanya berakhir begitu saja.
I’m falling in love with you. Jadi aku akan tetap cinta sama kamu, aku nggak peduli ini awalnya taruhan, atau cinlok, atau bahkan kamu ODHA sekalipun.
Dimas sudah sampai di rumah Dara. Tidak ada yang berubah dari rumah Dara, tetap asri dan nyaman seperti biasa.
Dimas mengetuk pintu. Bunda terlihat berjalan dan membuka pintu.
“Helo Bunda, Dara ada?” Dimas mencoba menahan debur di dadanya.
Kali ini aku akan sopan Ra…
         “Dara nggak ada Dim.” Bunda tersenyum, tapi ada yang aneh. Seperti ada yang janggal di matanya.
“Kemana ya Bun.” Dimas merasa tidak sabar.
Bunda memandang langit, lalu air matanya menetes perlahan.
Sesuatu berdentang di kepala Dimas.  Dara itu ODHA!
Sepertinya Dimas juga tahu jawabannya. Karena air matanya juga menetes perlahan. Tanpa berlama-lama Dimas segera pergi setelah berterimakasih pada Bunda.
Selamat tinggal Dara…
Terimakasih sudah menjalin pertemanan yang indah denganku, meski sangat singkat.
Dimas menyetir perlahan, matanya kabur oleh air mata. Hatinya hancur tanpa sisa. Cinta pertamanya telah membawa separuh hatinya pergi selamanya. Hatinya tidak akan pernah utuh lagi. Tidak pernah.
Dimas juga tahu ia harus bersyukur. Karena Tuhan telah menegurnya dengan begitu manis sekaligus begitu pedih. Seperti Dara pernah bilang, kalau Dimas tidak pernah taruhan, ia tidak akan pernah kenal dengan Dara.
There’s no happy ending love, because true love is never ending.